Beberapa waktu lalu, Taylor Swift menulis artikel untuk The Wall Street Journal mengenai trend streaming lagu. Dalam artikel tersebut Swift mengatakan, “Musik adalah seni, seni itu penting dan langka. Hal yang penting dan langka sangatlah bernilai. Hal-hal yang bernilai semestinya tidak gratis. Saya memprediksi bahwa suatu hari musisi dan label mereka akan menentukan sendiri harga untuk karya mereka. Saya berharap bahwa mereka tidak akan merendahkan karya mereka ataupun diri mereka sendiri.”
Tidak lama setelah merilis artikel tersebut, Swift menarik seluruh diskografinya dari Spotify. Langkah yang serupa juga diambil oleh Thom Yorke, vokalis dari band legendaris Radiohead. Setelah menarik diskografinya dari Spotify, ia mengeluarkan tweet yang mengatakan, “Jangan keliru. Musisi baru yang kalian temukan di #Spotify tidak akan dibayar, sementara para pemegang saham akan terus semakin kaya.”
Produser Yorke, Nigel Goldrich juga menambahkan dengan pernyataan, “Streaming tidak bisa mendukung karya-karya musisi baru. Spotify dan platform serupa harus mengakui fakta itu dan merubah modelnya untuk rilisan baru. Apabila tidak, maka para produser musik harus berani dan tinggalkan platform tersebut.”
Meskipun Yorke dan Taylor Swift kini sudah mengunggah kembali diskografi mereka di Spotify, tindakan mereka sebelumnya cukup mencerminkan problema Spotify, dan antipati yang dirasakan secara umum oleh musisi terhadap platform streaming. Apa penyebabnya?
Spotify didirikan pada tahun 2008, dimana industri musik sedang dalam keadaan genting. Industri musik masih belum beradaptasi dengan teknologi streaming, sehingga terhantam habis-habisan oleh pembajakan online. Menurut penelitian oleh Forrester Research, pada tahun 1999, penghasilan industri musik tercatat sebesar 14,6 miliar dolar. Angka ini turun drastis menjadi 6,3 miliar pada tahun 2009. Spotify mungkin layak mendapat pujian karena berusaha memberikan jawaban untuk masalah ini dengan menyediakan platform yang mengadopsi budaya streaming dengan sistem yang mudah untuk diakses, dan yang terpenting: llegal. Meskipun demikian, banyak pekerja industri musik, terutama musisi label independen, yang merasa tidak diperlakukan secara adil oleh Spotify.
Berbeda dengan penjualan fisik atau download berbayar yang membayar musisi sesuai dengan harga yang ditentukan, sistem pembayaran royalti Spotify berdasarkan “market share”, atau sesuai jumlah angka berapa kali suatu lagu diputar dibandingkan dengan total pemutaran lagu di Spotify. Diperkiraan sebesar 70% pendapatan Spotify diberikan kepada pemegang hak cipta lagu, yang lalu dibagikan dengan musisi berdasarkan perjanjian tersendiri. Spotify mengklaim bahwa mereka membayar antara $0,006 sampai $0,0084 per putaran lagu, namun berbagai pihak mengatakan bahwa mereka dibayar lebih rendah dari itu.
Sistem yang diterapkan Spotify kerap menerima kritikan karena dianggap mempersulit label-label kecil. Artikel oleh The Guardian menyebutkan, “Di Spotify tampaknya artis tidak setara. Ada perlakuan terhadap label indie yang berbeda dengan label besar. Mereka tidak menerima uang muka, tidak menerima upah minimum per streaming, dan hanya mendapatkan 50% bagian dari pendapatan iklan dengan system pro-rata, yang sejauh ini tidak bernilai apa-apa.”
Selebihnya, sistem pembayaran Spotify juga dinilai terlalu rendah, bahkan untuk standar layanan streaming yang umumnya tidak terlalu tinggi pun. Trichordist mengeluarkan penelitian yang membandingkan berbagai layanan streaming. Mereka meneliti persentase streaming dari layanan tertentu kemudian membandingkannya dengan total pendapatan. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Spotify menguasai 62,97% layanan streaming musik dan menghasilkan pendapatan 69,57% bagi industri musik. Sekilas mungkin ini terlihat buruk, namun apabila dibandingkan dengan layanan lain, komparasi jumlah streaming dengan sumbangan pendapatan yang dihasilkan, belum maksimal.
Ini bisa dilihat dari layanan Google Play Music yang hanya menguasai 2,36% pasar streaming, namun menyumbang 4,03% pendapatan bagi industri musik. Atau Tidal yang hanya mencangkup 0,1%, namun dapat memberikan 0,33%. Begitu juga dengan Rhapsody (sekarang disebut Napster) yang bahkan hanya digunakan oleh 0,52% market, tapi dapat menyumbang 2,52% pendapatan. Namun Spotify bukanlah yang terburuk berdasarkan penelitian tersebut. YouTube yang menguasai 21,7% market music streaming, namun hanya menyumbang 3,81% pendapatan.
Apakah ini berarti bahwa penggunaan Spotify tidak etis? Apakah Partners perlu merasa bersalah karena menggunakan Spotify atau layanan-layanan yang serupa? Tidak juga. Pendiri Spotify, Jim Anderson, menanggapi kritik terhadap layanan streaming-nya dengan pernyataan, “Spotify diciptakan untuk memecahkan masalah. Masalahnya adalah ini : pembajakan dan distribusi musik. Masalahnya adalah bagaimana caranya musisi bisa mendistribusikan karya mereka. Masalahnya bukan soal membayar musisi.”
Dilihat dari sudung pandang itu, maka Spotify tidak bisa disebut sepenuhnya sebagai drakula penghisap darah. Mengingat bahwa Spotify memang didirikan sebagai respons terhadap maraknya download ilegal pada tahun 2000-an, dan setidaknya mereka mempopulerkan sistem yang bisa menyelaraskan perkembangan teknologi, budaya online masyarakat, dengan industri musik. Selain itu, Spotify juga mempermudah musisi amatir untuk menyebarkan karyanya dan membangun namanya. Sebelum era ini, musisi bergantung pada label rekaman untuk hidup. Label secara efektif memiliki hak atas lagu-lagu mereka dan mengambil sebagian besar pendapatan dari penjualan rekaman, pertunjukan langsung, dan penerbitan untuk pihak label itu sendiri. Sedangkan platform seperti Spotify dapat memberikan musisi peluang lebih besar untuk menemukan kesuksesan tanpa bantuan label.
Lalu bagaimana apabila Partners pecinta music tetap merasa tidak nyaman dengan fakta-fakta yang sudah dibeberkan dan ingin membantu musisi-musisi, terutama lokal? Musisi, sama dengan pekerja dari sektor lain, tentunya sangat terpukul dengan situasi dunia saat ini. Cara terbaik untuk memberi dukungan adalah dengan membeli album mereka, baik dalam bentuk fisik atau digital (jika ada). Juga dengan membeli merchandise mereka, beri dukungan lewat media sosial, beri sumbangan melalui akun Patreon mereka, dan sebagainya.
Tentunya apabila pandemi ini sudah selesai, rajinlah pergi ke acara-acara live. Dengan begitu, mereka akan mendapatkan jauh lebih banyak keuntungan dari yang mereka dapatkan dari Spotify dan layanan serupa. Lebih dari itu, mereka akan merasa karya mereka dihargai, itulah yang sebenarnya diinginkan musisi.
Sumber: